Kamu melambai ke arahku, dengan senyum riang dan tatapan lembut.
Sekarang aku benar-benar melihat wajah aslimu. Rupanya, tidak jauh berbeda dari perkiraanku.
"Ini senja," katamu seolah bertanya padaku apakah tidak apa-apa jika pulang malam.
Aku tersenyum. Entah mengapa semua menjadi tak masalah jika bersamamu. Aku melihatmu terkejut ketika mendengarku memesan Americano double shot. Aku tahu isi hatimu. Kamu berpikir perempuan sepertiku pasti lebih menyukai minuman-minuman manis dengan banyak gula dan susu.
Kamu tersenyum tipis dan mengikuti pilihanku. Tatapan mata kita beradu. Dua gelas kopi di depan kita mulai srut sedikit demi sedikit menyaksikan obrolan kita yang menggelikan. Kamu bilang kamu lebih menyukai langit senja yang teduh, tenang, dan tidak panas.
Sesekali kamu melepas kacamata minusmu dan terlihat garis-garis wajahmu yang tegas, memperhatikanku berkata-kata.
Kamu menatapku lekat sembari melipat kaos lengan panjangmu berkata tersipu, "Aku nervous bertemu kamu."
Tanpa sadar kalimat itu menggetarkan detak jantungku. Membuatnya berdebar semakin cepat. Aku berdehem berusaha menyembunyikannya. Aku takut jika kamu mendengarnya.
Aku terkesiap menyadari lampu tempat kita duduk berhadapan mulai menguning. Bayangmu terlihat jelas di depanku. Suaramu yang tegas masuk perlahan melalui telingaku, melingkupi setiap tulang dalam tubuhku. Betapa hangatnya.
Senja semakin larut dan berubah menjadi malam. Kamu mengiring langkahku, menjadi sosok yang kuat, meski hanya melindungiku dari keramaian kota.
Tanpa terasa tatapan kita semakin dekat, lekat. Aku dan kamu saling menahan diri, menahan perasaan kita.
Terlalu awal untuk memulai sebuah hubungan. Perkenalan kita terlalu singkat dan terkadang membuatku sadar bahwa aku belum mengenalmu lebih dari sekedar fisik dan kepribadian luarmu.
Terlalu cepat. Aku masih ingin berlama-lama menikmati kopi ini dan senjaku bersamamu, meskipun perlahan.
Komentar
Posting Komentar