Sebatang pohon besar diam mengamati
pemandangan di sekitarnya. Ia melihat sepasang kekasih yang saling merayu dan
tersipu. Ia pun menangis sedih dan bertanya dalam hatinya, “Seandainya aku ini
manusia, pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Bulan begitu indah dan
cerah. Mereka berduapun terlihat sangat romantis. Mengapa aku harus terlahir
sebagai sebatang pohon yang hanya berdiri di tempat?”
Melihat
sang pohon yang bersedih itu, seekor burung gereja datang mendekat dan hinggap
pada dahannya. “Ada apa pohon? Mengapa kamu bersedih? Apa yang kamu rasakan?”
“Aku
ingin menjadi manusia. Aku ingin merasakan cinta layaknya sepasang kekasih yang
duduk tepat di bawahku ini,” jawab sang pohon. Burung itu mengangguk dan
bertanya, “Jika kamu sudah menjadi manusia, apakah kamu akan bahagia?”
Sang
pohon mengangguk, “Aku akan sangat bahagia. Aku tidak akan meminta hal lain
dalam hidupku. Dapatkah kamu membantuku?” Burung gereja itu mengangguk dan
berkata, “Baiklah. Kalau begitu pejamkan matamu dan tidurlah. Besok, kamu akan
menjadi seorang manusia.” Pohonpun mengikuti perkataan burung gereja itu. Ia
memejamkan matanya.
Keesokan
harinya, ia mendapati dirinya tidak lagi berada di taman seperti biasa. Ia
menekan alas tempat ia berbaring. Nyaman dan empuk. Di mana aku? Mengapa
tubuhku terasa ringan? Ia menyadari ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. Ia
menatap sebuah kotak yang memantulkan bayangan di depannya, masih dalam posisi
terduduk.
Ia
melihat seorang laki-laki yang sangat gagah. Dadanya begitu lapang, kakinya
kuat dan dapat diayunkan, lengannya yang besar dan kokoh. Ia hampir tak percaya
ketika menatap wajahnya. Ia tersenyum berulang kali dan mencoba untuk
menggerakkan mulutnya. “Ha..halo..” katanya sembari melambaikan tangan ke arah
kotak itu. Ia terkejut mendengar suaranya yang terdengar gagah dan berat.
Ia
bangkit dari tempat tidurnya dan membuka jendela kamarnya. Matahari menerobos
masuk dan semilir angin menerpa wajahnya. Si burung gereja datang
menghampirinya. “Apa yang kau rasa?” tanyanya. “Aku merasa hebat.Aku merasa
sempurna. Terima kasih,” ujarnya. Si burung gereja itu mengedipkan sebelah
matanya dan kemudian terbang ke suatu tempat. Manusia baru ini mulai mengenakan
bajunya. Ia pernah melihat cara berpakaian beberapa orang yang dulu sering
duduk dan bersandar pada tubuhnya.
Ia
pergi berkeliling. Ada seorang wanita tua yang hendak menyeberang. Manusia ini
kemudian membantunya untuk menyeberang, begitulah yang pernah ia lihat dulu.
Sang wanita tua itu berterima kasih dan bertanya “Siapa namamu, nak?” Manusia
ini mulai bingung. Apa itu nama? Apakah hal itu penting bagi seorang manusia?
Ia
memandang berkeliling. Ia mendengar beberapa orang mengobrol dengan teman
mereka dan mereka saling memanggil nama satu dengan yang lain. Manusia ini
berjalan dengan sedih karena ia tidak memiliki nama.
Melihatnya
bersedih, si burung gereja datang ke arahnya dan hinggap di pundaknya. Manusia
itu kemudian menceritakan kesedihannya. Si burung menolongnya. Ia mengajak
manusia itu ke suatu tempat di sana terdapat daftar nama-nama manusia yang
cukup populer hari-hari ini. Manusia itu melihat-lihat daftar nama tersebut dan
mencocokkan maisng-masing nama dengan karakter yang ia miliki.
“Aku
ingin menjadi seorang laki-laki yang misterius. Jadi, aku akan memilih nama
George. Orang-orang akan memanggilku G. Bukankah itu terdengar keren?”
Sang
burung mengedipkan sebelah matanya dan bertanya, “Apa yang kau rasa?” Jawab G
dengan bersemangat, “Aku merasa keren.” Mendengar hal itu, burung gereja itu
terbang menjauh dan membiarkan G untuk menikmati harinya.
G
berjalan dan melihat seorang gadis bertubuh mungil dan cantik. Ia terlihat
sangat menarik. Kulitnya halus dan bibirnya indah. G mendekatinya dan bertanya
padanya, “Hai gadis, aku ingin kamu menjadi kekasihku,” ujarnya. Wanita itu
terkejut dan menamparnya. “Kau bukan orang terkenal. Aku tidak mengenalmu,”
ujarnya. “Tunggu, aku sudah memiliki nama. Namaku G. Aku cukup misterius.
Bagaimana mungkin kamu tidak mengenalku?”
Gadis
itu tersenyum sinis dan berkata, “Jika kamu ingin dengan mudah mendapatkan
pasangan, kamu harus jadi kaya dan terkenal terlebih dahulu, barulah mereka
akan memandangmu.” G mengerutkan dahi. “Apa itu kaya dan terkenal?” Wanita itu
menunjuk ke arah billboard di depannya. G melihat seornag laki-laki dengan
pakaian yang sangat mahal, tampan, kaya, dan terkenal terpasang di mana-mana.
Semua orang mengenalnya dan mengaguminya.
“Tidak
ada wanita yang tidak menyukai pengusaha tampan sepertinya,” ujar gadis itu dan
berlalu pergi. G duduk terdiam dan mulai merajuk. Ia memandang ke langit dan si
burung gereja itu datang. “Aku ingin menjadi kaya dan terkenal. Aku ingin
memiliki seorang wanita yang memujaku.”
Si
burung gereja berkata, “untuk bisa mendapatkannya, kamu harus bekerja dan
menabung dengan baik. “ “Lalu, bagaimana caraku untuk mulai bekerja?” tanyanya.
“Kau harus bekerja dari hal-hal yang kecil dulu baru kemudian kau bisa
mengerjakan hal-hal yang besar,” jawab sang burung dengan lembut. “Kalau
begitu, berikan aku pekerjaan. Aku akan melakukannya.”
G
mulai mendapatkan pekerjaan dari pelayan toko. Ia mengerjakan tugasnya dengan
tekun dan bijaksana.Ia juga sangat ramah dan disukai oleh banyak orang. Dua
tahun kemudian, ia naik jabatan menjadi kepala dapur, karena ia pintar memasak
dan banyak orang mulai memujinya. Ia terus mencapai prestasi, hingga suatu
saat, ia menjadi seorang chef yang sangat terkenal karena kepiawaiannya dalam
memasak.
Beberapa
stasiun televisi mulai memberi kontrak untuk bekerja sama dengannya. G menjadi
orang yang sangat dipertimbangkan. Suatu hari, ia menatap ke jendela kamarnya
dan melihat seekor burung gereja. Burung itu kembali bertanya, “Apa yang kau
rasa?”
G
menjawab dengan bangga, “Aku merasa hebat.”
G
semakin senang karena ia mulai memiliki banyak penggemar. Akun sosial medianya
pun dipenuhi dengan komentar dan pengikut. Ia dapat mencapai tujuannya untuk
menjadi kaya dan terkenal. Beberapa restoran atas namanya juga telah resmi
dibuka.
Kemudian,
G datang pada gadis yang pernah mencibirnya dan bertanya, “Maukah kau menjadi
kekasihku?” Gadis itu menatapnya tersipu dan menganggukkan kepala. Si burung
gereja yang hendak mendekatinya harus tertolak karena G tidak mau ia hinggap
dipundaknya. “Hei burung, jangan kau hinggap dipundakku. Jas ini mahal. Aku
tidak mau kau mengotorinya. Kamu pasti hanya ingin bertanya bukan, Apa yang
kurasa? Aku akan menjawabnya, Aku merasa sempurna. Aku tidak memerlukanmu lagi.
Pergilah jauh-jauh dan temukan pohon lain yang ingin menjadi manusia.”
Si
burung gereja terlihat sangat terkejut. Ia sedih dan menangis. Ia terbang
meninggalkan G.
G
hidup berfoya-foya. Semua yang dia lakukan hanyalah menghabiskan hartanya untuk
menyenangkan kekasihnya.
Suatu
hari, ketika G akan menemui kekasihnya diam-diam, ia melihat kekasihnya
berjalan dengan orang lain dan terlihat snagat mesra. Hati G hancur dan ia
bertanya apa alasan dari semua itu. Sang gadis menjawab, bahwa selama ini ia
hanya mempergunakan kekayaan G untuk mendapatkan segalanya. Tapi, ia tidka
pernah mencintai G.
G
benar-benar terluka. Perlahan, semua orang yang memujanya mulai
meninggalkannya. Hartanya habis karena berfoya-foya. Semua yang pernah
diijinkan ada dalam hidupnya diambil total tak bersisa.
G
menangis dan menatap ke langit. Berkali-kali ia memanggil burung itu, tapi
burung itu tak juga datang. G merasa sendiri. Tak seorangpun mendekatinya. Tak
seorangpun peduli padanya. Ia begitu menyesal.
Suatu
hari ia berjalan ke taman tempat dulu ia berdiri di sana sebagai sebatang
pohon. Taman itu begitu sepi. Tak ada lagi pepohonan di sana. Kering da
gersang. Air matanya menetes dan hatinya terluka. “Aku rindu. Aku sungguh
merindukan diriku yang dulu.” G menangis
keras.
Si
burung gereja datang mendekat dan bertanya, “ Bolehkah aku hinggap di
pundakmu?” G mengangguk. “Maafkan aku karena telah mengusirmu.”
“Apa
yang kau rasa?” tanya burung itu. “Aku merasa sangat kecewa. Aku ingin kembali
menjadi pohon seperti sedia kala.”
Burung
itu mematuk tangannya dan berkata, “Sudah terlambat. Kau harus berusaha untuk
tetap hidup sebagai manusia.”
Sungguh
ironis bukan? Bukankah terkadang kita hidup seperti G? Kita terus menerus
meminta segala sesuatu yang lebih dan lebih tanpa pernah berterima kasih untuk
hari ini. Tanpa sadar, ambisi kita justru melukai orang-orang di sekeliling
kita yang selalu ada untuk kita dna mendoakan kita. Pernahkah kita berterima
kasih kepada mereka untuk setiap perhatian dan doa yang mereka beri untukmu?
Sepertinya, belum kan? Berapa banyak dari kita yang datang dan berterima kasih
ketika kita membutuhkan bantuan? Dan berapa banyak dari kita yang akan tetap
tinggal dengannya sampai akhir? Atau justru kita memilih untuk melepaskannya
dan kembali pada ambisi kita?
Keinginan
tidak akan pernah selesai. Keinginan membuat kita tidka pernah puas bukan akan
banyak hal di dunia ini? Ingin ini ingin itu, ingin yang lain dan terus akan
seperti itu. Sampai kapan keinginanmu terus tumbuh? Sampai kapan kamu akan
terus merasa tidak puas? Tentukanlah jawabnya. Karena hanya kamu dan dirimu
yang mengerti. Jadi, apa yang kau rasa hari ini?
Komentar
Posting Komentar